Selasa, 12 Januari 2016

Saluang

         Saya sungguh takut dengan perkataan orangtua. Mereka masih keturunan si Pahit Lidah, ucapan mereka terkadang terkabul begitu saja, pernah satu kali saya main di batang jambu, tiduran sambil menghitung semut yang berjalan di beberapa ranting. 1, 5, 11, 27, 46 dan akhirnya terhenti di angka 72 ketika ibu berteriak-teriak memanggil. “Jang, hari sudah sore. Lekas mandi, cepat!”. Sudah watak orang melayu yang suka melamun saya acuhkan perkataan ibu. tiba-tiba hujan deras dan saya bingung para semut reranting hilang entah kemana, mungkinkah mereka juga dipanggil ibunya. Saya tidak tahu, setelah itu saya bergegas turun dan berlari-lari riang di halaman. Beberapa lama gemuntur terdengar hingga akhirnya petir menyambar pohon tempat saya biasa beristirahat. Untung saya turun dan di puncak pohon itu hitam seperti aspal. Untung saya sudah mandi walaupun mandi hujan. Untung ibu tak menemukan saya di atas pohon lagi. Saya hampir mati gara-gara tak menuruti perintah ibu.
            Pernah juga suatu waktu saya bermain dengan alat pertukangan ayah. Saya suka memegang palu, paku, kunci T, obeng dan sebagainya. Saya merasa seperti lelaki sejati jika bisa menggunakan alat ini dengan sempurna. Saya mahir membekokkan paku untuk tempat pigura, mahir melepas baut pada ban mobil ayah. Tetapi waktu itu ayah marah kepada saya karena ia juga ingin menggunakannya “Jang, mana obeng, cepat sinikan, jika tidak kita tak bisa jalan-jalan.” Perkataan ayah mujarab betul. Ibu memanggil dari dalam rumah mengabarkan di tv ada siaran kecelakaan di daerah tempat yang ingin kami tuju, dengan itu ayah membatalkan rencananya.
            Sejak itu saya takut dengan perkataan orang tua, mereka keturunan Pahit Lidah. Untung saja mereka berdua tidak berbakat jadi komedian. Entah apa yang terjadi jika tiba-tiba ayah mengatakan “Jang, jadilah kodok.” Atau ibu mengatakan “Jang, jadilah wanita.” Mungkin sekarang saya sudah berubah jadi kodok wanita dan tak segan bernyanyi di musim hujan.

            Pernah satu kali saya didongengkan oleh ibu, ceritanya menarik sekali. Dongeng tentang ikan seluang. Seluang adalah roh-roh yang gagal masuk surga, pada zaman dahulu manusia tidak mempunyai adab dan peraturan. Sejak si Pahit Lidah meninggal orang tamak tak takut lagi memangsa orang kecil, yang kaya menindas yang lemah, yang bodoh tak pernah mau berusaha jadi pintar, kata ibu. Mereka jadi tidak mempunyai beban karena tidak ada yang bisa mengutuk mereka seperti si Pahit Lidah. Hidup tanpa ketakutan bukanlah hal yang baik, nasehat ibu kepada saya. Sehingga ada satu waktu keturunan Pahit Lidah muncul  kembali dan akhirnya mengutuk mereka jadi seluang. Mereka jadi orang-orang yang terbuang sejak pahlawan datang entah keturunan si Pahit Lidah keberapa mereka langsung mendapat balasan. Sejak itu saya jadi suka ikan seluang. Karena dengan makan ikan seluang berarti saya bisa sedikit menghapus dosa leluhur yang bejat ujar ibu ketika mendongengkan saya. Si keturunan Pahit lidah menganjurkan masyarakat dahulu untuk memakan mereka, agar dosa mereka bisa dihapuskan. lebih baik dijadikan pempek atau digoreng dan  dimakan, biar dosa mereka diringankan tuhan.
            Saya tahu di Pahit Lidah sudah tidak ada sekarang, mungkin beberapa dekade lagi ia akan muncul seperti kelahiran avatar. tapi saya tetap takut dengan orang tua. Saya harus menuruti benar kata-kata mereka. Perkataan mereka memang bukan kutukan, tapi sekali lagi pernah terjadi dan hampir mencelakai saya.
            Pernah satu waktu saya bermain sepeda bersama kawan-kawan hingga maghrib menjelang saya belum mau pulang. Ibu mencari saya kemudian menjewer saya hingga kerumah “Anak nakal, cepat pulang nanti diculik kolong wewe.” Karena saya tak ingin malu didepan kawan saya lepaskan jeweran ibu dan mengayuh sepeda kencang-kencang dan kabur setelahnya. Saya terus mengayuh sampai jauh hingga tidak terlihat ibu memanggil-manggil saya. Tiba-tiba saya tersesat dan tak tahu dimana arah. Hingga saya bertemu dengan orang tua mirip nenek Pipiyot seperti dalam cerita Oki dan Nirmala. Jujur saya ketakutan, saya takut ia mau menculik saya seperti perkataan ibu atau menyuruh saya memakan apel seperti dongeng putri salju. Saya bisa tertidur selamanya. Saya belum ingin mati, saya tidak ingin jadi seluang. Saya akhirnya memutar arah dan mengayuh sepeda sekencangnya, akhirnya saya bisa bertemu ibu saya yang terlihat menangis sesenggukan. Saya merasa bersalah.
            Dirumah saya berhadapan dengan ayah saya dan terus terang ia lalu marah besar. Sepeda saya dihancurkannya hingga jadi kepingan yang mungkin lakunya tidak seberapa di loakan. Saya jadi kalang kabut tapi tak bisa kabur dari mereka. Saya takut mereka mengutuk karena kenakalan kecil saya. Mungkin saja ayah berucap aneh karena ia marah “jadilah babi” atau ibu yang saya rasa sedikit marah tiba-tiba berbicara “hapus dosa kau jang dengan menuntut ilmu” saya bisa-bisa jadi cut pat kai dan berjalan ke barat hingga beberapa tahun lamanya.
            Saya takut jadi seluang. Kecil dan juga gurih seperti dosa, jika dimakan alang kepalang nikmatnya walau setelah itu dosa saya mungkin berkurang ketika digoreng. Kemudian bereinkarnasi kembali menjadi seluang yang lain, hidup yang berulang-ulang hanya untuk menghapus dosa seperti Sisiphus dengan batunya dalam legenda Yunani. Saya tahu mereka berdua mencintai saya karena saya anak tunggal semata wayang. Mereka tidak mungkin mengutuk saya. Akan tetapi apa yang tidak mungkin di dunia, apalagi semua bisa saja berubah ketika emosi menyerang, saya bisa-bisa jadi seluang.
            Saya merasa mungkin ibu keturunan di Pahit Lidah, entah turunan keberapa walau sebenarnya saya tidak benar-benar mempercayai pemikiran saya sendiri. karena toh dongengan ibu membuat saya merasa Si Pahit lidah seperti cerita avatar. Mungkin butuh 10 dekade lagi ia baru muncul di dunia dan itu jelas bukan ibu. Tapi saya tetap percaya ucapan ibu adalah ucapan mujarab yang malah selalu terjadi. Contohnya bukan saya saja yang terkena perkataan mujarab ibu. saya masih mending mungkin karena saya anaknya. Pernah suatu waktu ada anjing tetangga menyalak didepan ibu, ibu marah dan berkata “Matilah.” Di hari yang sama tersiar kabar anjing pak Noto mati ditabrak kereta. Anjing yang menyalak didepan ibu kehilangan nyawa karena perkataannya. Benar-benar mengerikan. Ada cerita lain, pernah satu kali ibu mengomeli pengemis di samping jalan lampu merah “Jang, hidup jangan mengemis seperti dia, kalau bisa bekerja lebih baik bekerja. Jika itu sekedar tipuan, ia akan borokan.” Beberapa hari setelahnya saya tidak sengaja lewat lampu merah. Saya tengok si pengemis dan muncul beberapa borokan di tubuhnya, yang mengasih uang pun kepada ia terlihat menjauh karena baunya. Saya jadi benar-benar takut dengan perkataan ibu jika mengenangnya.
            Ayah mungkin juga keturunan si Pahit Lidah, walau saya sebenarnya cuma menebak karena saya takut pada ayah. Dari pengalaman saya selama jadi anaknya. Ada beberapa perkataan ayah yang tidak begitu mujarab walau kebanyakan dikabulkan tuhan. Salah satu perkataannya yang sukses adalah ketika ayah mengatakan “Jang, lihat orang itu. Ia akan jadi orang kaya.” Dulu saya tidak percaya, soalnya kak Seto yang dikatakan ayah sebenarnya bagi saya terlihat seperti orang yang malas-malasan, lebih suka keluyuran daripada belajar dirumah, tapi beberapa tahun setelah itu, kak Seto tiba-tiba jadi kaya karena bekerja di salah satu perusahaan pangan yang dikelola perusahaan asing. Kecakapan bicaranya mungkin benar-benar menolong kehidupannya kata ayah menasehati saya. Saya jadi heran dengan nasib. Tidak bisa ditebak atau mungkin mujarab benar apa yang dikatakan ayah.
            Tapi perkataan ayah bagi saya tidak begitu mujur jika demi dirinya. dulu ayah pernah menggerutu meminta semoga pagi hujan biar dia bisa terlambat bekerja. Tapi kenyataan perkataannya tidak dikabulkan tuhan. Ayah juga pernah menggerutu biar bisa punya banyak uang, tapi sampai sekarang saya belum melihat itu benar-benar kejadian. cukup berbeda jika ia ingin mengutuk orang lain. satu contoh lagi ada seorang sales datang kerumah saya. Ayah berkata “pergilah, cari pekerjaan yang lebih menguntungkan.” Entah termakan masukkan ayah atau sekali lagi nasib yang tidak dapat ditebak. Sales itu pernah kerumah saya lagi dan memberi saya beberapa bubur kacang. Katanya itu untuk orangtuamu. “Saya sudah punya penghasilan yang lumayan”.
            Saya sebenarnya tidak mengerti pemikiran orang tua. Tapi ayah dan ibu punya perkataan yang bagi saya sangat mujarab, entah itu mengutuk atau memandang masa depan. Saya sebenarnya merasa ingin punya kemampuan seperti mereka walau sebenarnya tidak begitu menguntungkan juga.
***
            Ayah dan ibu hari ini sedang punya masalah, mereka terlihat tidak begitu akrab didepan saya, saya tidak begitu tahu karena itu urusan orangtua. Mereka terlihat saling diam jika berpapasan. Saya merasa aneh, biasanya mereka saling berbincang dan tersenyum. Entah kenapa beberapa hari belakangan suasana rumah tidak begitu nyaman.
            Saya melihat ayah sedang gusar di teras sambil merokok, ia seperti memikirkan sesuatu yang begitu panjang dan sulit untuk dijelaskan. Ayah terlihat membanting-banting abu rokoknya di asbak sambil memandang langit abu-abu, sepertinya mau hujan, entah rintik, hanya rinai atau deras. Ia terlihat kesepian padahal ada ibu di dalam rumah atau saya yang sedang mengintipinya. Saya ingin menghibur ayah, tapi saya takut ia marah dan tiba-tiba mengutuk. Saya takut jadi seluang.
            Saya masuk kedalam dan memergoki ibu sedang menangis. Saya sekali lagi merasa bersalah. Ibu terlihat begitu sendu tapi mencoba tegar sambil memegang erat kursi kayu meja makan. Ada rasa kehilangan yang terlihat dimatanya. Saya sebenarnya ingin menghibur ibu, tapi saya takut ia marah dan tiba-tiba mengutuk saya dengan beberapa kata yang mungkin bisa membuat saya berubah jadi binatang bahkan tumbuhan. Saya takut jadi seluang.
            Ayah melihat saya sedang melihat ibu, ibu melihat saya sedang melihat ayah. Tiba-tiba semuanya menjadi gelap. Saya diperebutkan seperti barang yang terkena diskon di pasar swalayan.

“ Jang, ayo ikut ayah.”
“Jang, ayo ikut ibu.”
            Mereka terlihat tidak murung lagi ketika saling berhadapan. Ada mata yang begitu nyala didepan saya sekarang.
“ Jang, ayo ikut ayah.”
“Jang, ayo ikut ibu.”
Saya benar-benar tidak mengerti pemikiran orang tua. Kemarin mereka bercanda ria dan sekarang berkelahi dengan begitu seriusnya.
“ Jang, ayo ikut ayah. Kalau tidak kau tidak jadi apa-apa. Kau cuma bisa jadi belalang besar nanti, hidup cuma jadi benalu!”
“Jang, ayo ikut ibu. atau kau mau jadi batu!”
            Saya benar-benar takut sekarang, saya tidak mau jadi belalang yang cuma bisa di dedaunan, saya takut kawan tidak lagi mengenali saya. saya juga tidak mau jadi batu, saya tidak bisa bermain dan mengerjakan apa-apa jika menjadi batu. Saya benar-benar benci ketika mereka memperebutkan saya seperti ini, apalagi dengan perkataan yang mengutuk.

Saya benar-benar takut mati dan jadi saluang!

Balai Bahasa Sumsel
Diko Hartan 2015



1 komentar:

  1. Cerita tentang ikan Seluang saya belum pernah dapat biar tinggal di kota yang sama. Ahahahaha ini oke bang!

    BalasHapus