Saya sungguh takut dengan perkataan orangtua. Mereka
masih keturunan si Pahit Lidah, ucapan mereka terkadang terkabul begitu saja,
pernah satu kali saya main di batang jambu, tiduran sambil menghitung semut
yang berjalan di beberapa ranting. 1, 5, 11, 27, 46 dan akhirnya terhenti di
angka 72 ketika ibu berteriak-teriak memanggil. “Jang, hari sudah sore. Lekas
mandi, cepat!”. Sudah watak orang melayu yang suka melamun saya acuhkan
perkataan ibu. tiba-tiba hujan deras dan saya bingung para semut reranting hilang
entah kemana, mungkinkah mereka juga dipanggil ibunya. Saya tidak tahu, setelah
itu saya bergegas turun dan berlari-lari riang di halaman. Beberapa lama
gemuntur terdengar hingga akhirnya petir menyambar pohon tempat saya biasa
beristirahat. Untung saya turun dan di puncak pohon itu hitam seperti aspal. Untung
saya sudah mandi walaupun mandi hujan. Untung ibu tak menemukan saya di atas
pohon lagi. Saya hampir mati gara-gara tak menuruti perintah ibu.
Pernah
juga suatu waktu saya bermain dengan alat pertukangan ayah. Saya suka memegang
palu, paku, kunci T, obeng dan sebagainya. Saya merasa seperti lelaki sejati
jika bisa menggunakan alat ini dengan sempurna. Saya mahir membekokkan paku
untuk tempat pigura, mahir melepas baut pada ban mobil ayah. Tetapi waktu itu
ayah marah kepada saya karena ia juga ingin menggunakannya “Jang, mana obeng,
cepat sinikan, jika tidak kita tak bisa jalan-jalan.” Perkataan ayah mujarab
betul. Ibu memanggil dari dalam rumah mengabarkan di tv ada siaran kecelakaan
di daerah tempat yang ingin kami tuju, dengan itu ayah membatalkan rencananya.
Sejak
itu saya takut dengan perkataan orang tua, mereka keturunan Pahit Lidah. Untung
saja mereka berdua tidak berbakat jadi komedian. Entah apa yang terjadi jika
tiba-tiba ayah mengatakan “Jang, jadilah kodok.” Atau ibu mengatakan “Jang,
jadilah wanita.” Mungkin sekarang saya sudah berubah jadi kodok wanita dan tak
segan bernyanyi di musim hujan.
Pernah
satu kali saya didongengkan oleh ibu, ceritanya menarik sekali. Dongeng tentang
ikan seluang. Seluang adalah roh-roh yang gagal masuk surga, pada zaman dahulu
manusia tidak mempunyai adab dan peraturan. Sejak si Pahit Lidah meninggal
orang tamak tak takut lagi memangsa orang kecil, yang kaya menindas yang lemah,
yang bodoh tak pernah mau berusaha jadi pintar, kata ibu. Mereka jadi tidak
mempunyai beban karena tidak ada yang bisa mengutuk mereka seperti si Pahit
Lidah. Hidup tanpa ketakutan bukanlah hal yang baik, nasehat ibu kepada saya. Sehingga
ada satu waktu keturunan Pahit Lidah muncul
kembali dan akhirnya mengutuk mereka jadi seluang. Mereka jadi
orang-orang yang terbuang sejak pahlawan datang entah keturunan si Pahit Lidah
keberapa mereka langsung mendapat balasan. Sejak itu saya jadi suka ikan seluang.
Karena dengan makan ikan seluang berarti saya bisa sedikit menghapus dosa
leluhur yang bejat ujar ibu ketika mendongengkan saya. Si keturunan Pahit lidah
menganjurkan masyarakat dahulu untuk memakan mereka, agar dosa mereka bisa dihapuskan.
lebih baik dijadikan pempek atau digoreng dan dimakan, biar dosa mereka diringankan tuhan.
Saya
tahu di Pahit Lidah sudah tidak ada sekarang, mungkin beberapa dekade lagi ia
akan muncul seperti kelahiran avatar. tapi saya tetap takut dengan orang tua.
Saya harus menuruti benar kata-kata mereka. Perkataan mereka memang bukan
kutukan, tapi sekali lagi pernah terjadi dan hampir mencelakai saya.
Pernah
satu waktu saya bermain sepeda bersama kawan-kawan hingga maghrib menjelang
saya belum mau pulang. Ibu mencari saya kemudian menjewer saya hingga kerumah
“Anak nakal, cepat pulang nanti diculik kolong wewe.” Karena saya tak ingin
malu didepan kawan saya lepaskan jeweran ibu dan mengayuh sepeda
kencang-kencang dan kabur setelahnya. Saya terus mengayuh sampai jauh hingga
tidak terlihat ibu memanggil-manggil saya. Tiba-tiba saya tersesat dan tak tahu
dimana arah. Hingga saya bertemu dengan orang tua mirip nenek Pipiyot seperti
dalam cerita Oki dan Nirmala. Jujur saya ketakutan, saya takut ia mau menculik
saya seperti perkataan ibu atau menyuruh saya memakan apel seperti dongeng
putri salju. Saya bisa tertidur selamanya. Saya belum ingin mati, saya tidak
ingin jadi seluang. Saya akhirnya memutar arah dan mengayuh sepeda
sekencangnya, akhirnya saya bisa bertemu ibu saya yang terlihat menangis
sesenggukan. Saya merasa bersalah.
Dirumah
saya berhadapan dengan ayah saya dan terus terang ia lalu marah besar. Sepeda
saya dihancurkannya hingga jadi kepingan yang mungkin lakunya tidak seberapa di
loakan. Saya jadi kalang kabut tapi tak bisa kabur dari mereka. Saya takut
mereka mengutuk karena kenakalan kecil saya. Mungkin saja ayah berucap aneh
karena ia marah “jadilah babi” atau ibu yang saya rasa sedikit marah tiba-tiba
berbicara “hapus dosa kau jang dengan menuntut ilmu” saya bisa-bisa jadi cut
pat kai dan berjalan ke barat hingga beberapa tahun lamanya.
Saya
takut jadi seluang. Kecil dan juga gurih seperti dosa, jika dimakan alang
kepalang nikmatnya walau setelah itu dosa saya mungkin berkurang ketika
digoreng. Kemudian bereinkarnasi kembali menjadi seluang yang lain, hidup yang
berulang-ulang hanya untuk menghapus dosa seperti Sisiphus dengan batunya dalam
legenda Yunani. Saya tahu mereka berdua mencintai saya karena saya anak tunggal
semata wayang. Mereka tidak mungkin mengutuk saya. Akan tetapi apa yang tidak
mungkin di dunia, apalagi semua bisa saja berubah ketika emosi menyerang, saya
bisa-bisa jadi seluang.
Saya
merasa mungkin ibu keturunan di Pahit Lidah, entah turunan keberapa walau
sebenarnya saya tidak benar-benar mempercayai pemikiran saya sendiri. karena
toh dongengan ibu membuat saya merasa Si Pahit lidah seperti cerita avatar.
Mungkin butuh 10 dekade lagi ia baru muncul di dunia dan itu jelas bukan ibu. Tapi
saya tetap percaya ucapan ibu adalah ucapan mujarab yang malah selalu terjadi.
Contohnya bukan saya saja yang terkena perkataan mujarab ibu. saya masih mending
mungkin karena saya anaknya. Pernah suatu waktu ada anjing tetangga menyalak
didepan ibu, ibu marah dan berkata “Matilah.” Di hari yang sama tersiar kabar
anjing pak Noto mati ditabrak kereta. Anjing yang menyalak didepan ibu
kehilangan nyawa karena perkataannya. Benar-benar mengerikan. Ada cerita lain,
pernah satu kali ibu mengomeli pengemis di samping jalan lampu merah “Jang,
hidup jangan mengemis seperti dia, kalau bisa bekerja lebih baik bekerja. Jika
itu sekedar tipuan, ia akan borokan.” Beberapa hari setelahnya saya tidak
sengaja lewat lampu merah. Saya tengok si pengemis dan muncul beberapa borokan
di tubuhnya, yang mengasih uang pun kepada ia terlihat menjauh karena baunya.
Saya jadi benar-benar takut dengan perkataan ibu jika mengenangnya.
Ayah
mungkin juga keturunan si Pahit Lidah, walau saya sebenarnya cuma menebak
karena saya takut pada ayah. Dari pengalaman saya selama jadi anaknya. Ada
beberapa perkataan ayah yang tidak begitu mujarab walau kebanyakan dikabulkan
tuhan. Salah satu perkataannya yang sukses adalah ketika ayah mengatakan “Jang,
lihat orang itu. Ia akan jadi orang kaya.” Dulu saya tidak percaya, soalnya kak
Seto yang dikatakan ayah sebenarnya bagi saya terlihat seperti orang yang
malas-malasan, lebih suka keluyuran daripada belajar dirumah, tapi beberapa
tahun setelah itu, kak Seto tiba-tiba jadi kaya karena bekerja di salah satu
perusahaan pangan yang dikelola perusahaan asing. Kecakapan bicaranya mungkin
benar-benar menolong kehidupannya kata ayah menasehati saya. Saya jadi heran dengan
nasib. Tidak bisa ditebak atau mungkin mujarab benar apa yang dikatakan ayah.
Tapi
perkataan ayah bagi saya tidak begitu mujur jika demi dirinya. dulu ayah pernah
menggerutu meminta semoga pagi hujan biar dia bisa terlambat bekerja. Tapi kenyataan
perkataannya tidak dikabulkan tuhan. Ayah juga pernah menggerutu biar bisa
punya banyak uang, tapi sampai sekarang saya belum melihat itu benar-benar
kejadian. cukup berbeda jika ia ingin mengutuk orang lain. satu contoh lagi ada
seorang sales datang kerumah saya. Ayah berkata “pergilah, cari pekerjaan yang lebih
menguntungkan.” Entah termakan masukkan ayah atau sekali lagi nasib yang tidak
dapat ditebak. Sales itu pernah kerumah saya lagi dan memberi saya beberapa
bubur kacang. Katanya itu untuk orangtuamu. “Saya sudah punya penghasilan yang
lumayan”.
Saya
sebenarnya tidak mengerti pemikiran orang tua. Tapi ayah dan ibu punya
perkataan yang bagi saya sangat mujarab, entah itu mengutuk atau memandang masa
depan. Saya sebenarnya merasa ingin punya kemampuan seperti mereka walau sebenarnya
tidak begitu menguntungkan juga.
***
Ayah
dan ibu hari ini sedang punya masalah, mereka terlihat tidak begitu akrab
didepan saya, saya tidak begitu tahu karena itu urusan orangtua. Mereka
terlihat saling diam jika berpapasan. Saya merasa aneh, biasanya mereka saling
berbincang dan tersenyum. Entah kenapa beberapa hari belakangan suasana rumah
tidak begitu nyaman.
Saya
melihat ayah sedang gusar di teras sambil merokok, ia seperti memikirkan
sesuatu yang begitu panjang dan sulit untuk dijelaskan. Ayah terlihat
membanting-banting abu rokoknya di asbak sambil memandang langit abu-abu,
sepertinya mau hujan, entah rintik, hanya rinai atau deras. Ia terlihat
kesepian padahal ada ibu di dalam rumah atau saya yang sedang mengintipinya.
Saya ingin menghibur ayah, tapi saya takut ia marah dan tiba-tiba mengutuk.
Saya takut jadi seluang.
Saya
masuk kedalam dan memergoki ibu sedang menangis. Saya sekali lagi merasa
bersalah. Ibu terlihat begitu sendu tapi mencoba tegar sambil memegang erat
kursi kayu meja makan. Ada rasa kehilangan yang terlihat dimatanya. Saya
sebenarnya ingin menghibur ibu, tapi saya takut ia marah dan tiba-tiba mengutuk
saya dengan beberapa kata yang mungkin bisa membuat saya berubah jadi binatang
bahkan tumbuhan. Saya takut jadi seluang.
Ayah melihat saya sedang melihat
ibu, ibu melihat saya sedang melihat ayah. Tiba-tiba semuanya menjadi gelap.
Saya diperebutkan seperti barang yang terkena diskon di pasar swalayan.
“ Jang, ayo ikut ayah.”
“Jang, ayo ikut ibu.”
Mereka terlihat tidak murung lagi ketika saling
berhadapan. Ada mata yang begitu nyala didepan saya sekarang.
“ Jang, ayo ikut ayah.”
“Jang, ayo ikut ibu.”
Saya benar-benar tidak
mengerti pemikiran orang tua. Kemarin mereka bercanda ria dan sekarang
berkelahi dengan begitu seriusnya.
“ Jang, ayo ikut ayah.
Kalau tidak kau tidak jadi apa-apa. Kau cuma bisa jadi belalang besar nanti,
hidup cuma jadi benalu!”
“Jang, ayo ikut ibu.
atau kau mau jadi batu!”
Saya benar-benar takut sekarang, saya tidak mau jadi
belalang yang cuma bisa di dedaunan, saya takut kawan tidak lagi mengenali
saya. saya juga tidak mau jadi batu, saya tidak bisa bermain dan mengerjakan
apa-apa jika menjadi batu. Saya benar-benar benci ketika mereka memperebutkan
saya seperti ini, apalagi dengan perkataan yang mengutuk.
Saya benar-benar takut mati
dan jadi saluang!
Balai Bahasa Sumsel
Diko Hartan 2015
Cerita tentang ikan Seluang saya belum pernah dapat biar tinggal di kota yang sama. Ahahahaha ini oke bang!
BalasHapus