Selasa, 12 Januari 2016

Payung


            Jadi Bagaimana?
           Kom tidak tahu, apa yang harus dilakukan olehnya untuk memperbaiki kesalahan yang telah ia buat, gara-gara satu kesalahan. Suaminya mati. Sakit diare. Anaknya satu-satunya, Badar.  Pergi keluar desa. Mengembara ke kota besar mencari pekerjaan. Alasan Badar pun sebenarnya telak menusuk dirinya. Ia pergi agar tak menyusahkan ibunya lagi, hidup mandiri dan berjanji lekas pulang jika sudah sukses. Tapi kemarin kabar buruk kedua menerpa dirinya. Anaknya menyusul bapaknya tewas dilindas truk pengangkut barang. Padahal baru beberapa minggu Badar di kota, apakah kota begitu kejam. Mayat Badar pun harus ia ambil di kota karena ia tak punya sanak keluarga disana. Kom harus mengambilnya sendirian tanpa ditemani siapa-siapa. Ia sudah sebatang kara dalam waktu sesingkat-singkatnya.
            Mau ke mana?
            Kom tahu ia harus ke kota B, mengambil mayat anaknya. Naik kereta api membuat ia mengenang suaminya. Entah sudah berapa lama, Kom tak naik kendaraan ini. terakhir kali ia naik ketika suaminya mengajak jalan-jalan ke danau dan kuburan sesepuh, berdoa disana meminta punya anak. Sudah 5 tahun mereka bekeluarga tapi momongan belum diberi oleh yang maha kuasa. Pada saat itu Kom dan suaminya kebelet ingin jadi orang tua. Segala macam cara mereka pakai sampai pernah mendaftar bayi tabung segala. Tapi momongan tak kunjung tiba. Sampai dua tahun kemudian setelah kejadian itu barulah Badar baru muncul di dunia. Kenangan yang menggenang di otak Kom sekarang terasa begitu benar istimewa, kenangan sebelum waktu menghapusnya bagai rayap memakan kayu dan tanpa sadar sekarang anak satu-satunya malah akan dijemputnya dalam keadaan tak bernyawa.
            Lain kali, apakah bisa?
            Kereta terus melaju, Kom tak bisa berhenti berpikir. Mengapa harus saat ini perpisahan itu tiba, andai esok, lain kali atau ia yang lebih dulu mati. Ia tak akan merasa seperih ini. andai rumahnya tak bocor, mungkin ia tak latah membuka payung, melanggar pamali yang sudah turun temurun diwariskan keluarganya. Membuka payung didalam rumah berarti keluarganya akan mendapat musibah, dan itu benar. Esok setelah kejadian itu suaminya tiba-tiba sakit diare dan mati, dua minggu kemudian Badar anak kesayangannya menyusul dan beberapa minggu kedepan mungkin ia akan dijemput maut. Ia harus berpikir untuk apa hari-hari yang masih tersisa sebelum nyawanya dicabut. Tobat?, apakah itu mungkin dan layak diterima tuhan, ia sudah membunuh anggota keluarganya sendiri dan apa dosa yang lebih berat daripada itu. Ia akan masuk neraka dan jelas-jelas ia sekarang merasa takut mati, benar-benar takut. Hanya karena satu kesalahan ia tak lagi bisa tidur nyenyak. Ia waswas dengan segala yang jelas tak terungkap. Tabir telah tiba dan siap tidak siap ia harus menjalaninya.
            Setelah itu, apakah harus?
            Kom turun dari kereta, ia sudah tiba di kota. beberapa kali ia bertanya alamat Rumah Sakit Papcakarta. kepada tukang koran, orang yang sedang membaca koran. kepada penyemir sepatu, orang yang sepatunya sedang disemir. Kepada penjaga toko, sampai orang yang sedang membeli makanan ringan di toko. Semuanya tidak tahu Rumah Sakit Papcakarta. Ia terus berjalan, terus bertanya hingga tiba-tiba langit menjadi kelabu dan hujan turun derasnya. Tetes demi tetes, rinai demi rinai, rintik demi rintik, deras. Hujan turun dengan derasnya. Kom tidak perduli, hari mulai merapal senja. Rumah sakit itu jelas harus ia temukan sebelum malam menjadi gelap. Ditengah hempasan angin dan hujan, tiba tiba lelaki kecil menghampiri Kom, membawa payung.
            Apa yang harus dilakukan?
            Lelaki kecil itu menawari Kom untuk ia antar, dengan payung. Alat yang sudah melukai hati Kom, alat yang membunuh keluarganya. Kom bingung, linglung. Semuanya terasa berputar, tanpa sebab Kom merasa dimanapun ia melangkah maut sedang mengincarnya. Payung sedang memburunya. Melihat payung tiba-tiba Kom bertekad bulat untuk tak takut, tak takut mati. Asal lelaki kecil ini tau alamat rumah sakit dan bisa mengantarnya kesana. Kom siap mati, Kom harus meminta maaf kepada anaknya. Minimal berbicara dengan mayatnya, dengan itu Kom baru bisa merasa lega.
            Kemudian, disaat yang berat.
            Lelaki kecil ini tau alamat rumah sakit Papcakarta, sekitar 1 kilometer dari tempat mereka berdua dan siap mengantarkan jika Kom mau. Kom senang alang kepalang. Setidaknya ini mengobati sedikit sesak di hatinya. Berdua mereka berjalan lurus ditengah hujan yang mengguyur. Hari makin sore tetapi langit memenjarakan cerah. Gelap sudah merambat di kota B dikarenakan hujan. Tidak ada manusia yang keluar dari bapak-bapak, ibu-ibu bahkan anak kecil yang suka berlarian ditengah hujan tidak ada. Kecuali lelaki kecil disamping Kom yang terlihat bibirnya sudah biru, matanya redup dan kakinya mulai lelah. Kom sadar bahwa lelaki kecil pembawa payung itu sudah tak kuat mengantarnya. Masih setengah perjalanan lagi. Masih...
            Payung itu tiba-tiba melayang.
            Lelaki kecil itu tanpa sadar melepaskan pegangan payung, payungnya terbang dan tubuh kecilnya ambruk. Kom mengangkat lelaki kecil yang terlihat tersenyum letih ketika dipeluknya. Kom menangis. Benar-benar menangis. Masih pantaskah ia berterima kasih kepada payung. Andai payung itu ia yang pegang, payung itu tak akan terbang jauh dan hilang. Lelaki kecil itu berkata tidak apa-apa asal Kom bisa menggantinya setelah ia mengantarkan Kom sampai rumah sakit. Kom kembali bingung, linglung. Ia sudah berjanji kepada dirinya sendiri untuk tak membeli payung lagi. Payung sudah disegel haram di otaknya. Sedangkan gara-gara kejadian ini ia harus kembali membeli payung. Berarti ia mau tak mau melanggar pamali lagi yang sudah menjadi pedoman hidupnya. Ayahnya pernah berkata jika seorang tak menepati janji yang ia katakan. Ia akan jadi babi di akhirat. Betapa berat hukuman tuhan yang diberikan kepadanya. Sudah pasti masuk neraka dan disana ia sudah divonis jadi babi. Apa tuhan sudah tak merestui ia untuk masuk surga.
            Beberapa meter sebelum rumah sakit.
            Hujan mulai menggerimis. Meninggalkan jejak basah di tanah. Di pelataran depan rumah sakit terlihat orang tua yang menjual payung. Beraneka macam payung mulai dari payung kertas, payung berukuran besar hingga payung lipat. Kom ternganga, ia harus membelikan payung untuk anak ini. ah biarlah ia ikhlas jadi babi asal ia bisa bertemu dan minta maaf kepada anaknya Badar, minimal berbicara dengan mayatnya. Setelah lelaki kecil itu memilih payung dan Kom memberi uang lebih karena telah mengantarkan ia sampai kerumah sakit. Lelaki itu berterima kasih dan berlari. Tinggallah Kom sendirian.
            Akhir dari kisah ini.
            Kom memeriksa jenazah anaknya yang ternyata bukan anaknya. Itu Asep, anak tetangga dari tetangga tetangga sebelah rumahnya yang mengajak Badar bekerja di kota. Jadi dimana Badar, apa Badar masih hidup ataukah Badar mati berbarengan dengan Asep. Ini menjadi pertanyaan berat bagi Kom. Berkat informasi suster. Asep mati dilindas truk dikarenakan jadi penjaja payung. Seperti lelaki kecil tadi yang mengantarnya sampai kesini. Korban truk hanya Asep, tidak ada lagi. Kom bertanya apakah jenazah ini punya teman yang menjenguknya. Suster menjawab. Ada, para penjaja payung seperti mayat ini.
            Mendengar itu, Kom...
            Kom menunggu di ruang mayat. Berharap ia diberi keajaiban. Keajaiban payung yang mengantarkan suaminya mati dan mencelakakan hidupnya. Ia terus menunggu, Tidak lain dan tidak bukan ia menunggu penjaja payung lain yang melihat jenazah anak tetangga dari tetangga tetangga sebelah rumahnya. Mungkin barangkali Badar datang membawa payung, menerima ibunya yang meminta maaf sebelum di akhirat berubah jadi babi...

Lubuklinggau Ekspress

Diko Hartan 2013


Tidak ada komentar:

Posting Komentar