Jadi Bagaimana?
Kom
tidak tahu, apa yang harus dilakukan olehnya untuk memperbaiki kesalahan yang
telah ia buat, gara-gara satu kesalahan. Suaminya mati. Sakit diare. Anaknya
satu-satunya, Badar. Pergi keluar desa.
Mengembara ke kota besar mencari pekerjaan. Alasan Badar pun sebenarnya telak
menusuk dirinya. Ia pergi agar tak menyusahkan ibunya lagi, hidup mandiri dan
berjanji lekas pulang jika sudah sukses. Tapi kemarin kabar buruk kedua menerpa
dirinya. Anaknya menyusul bapaknya tewas dilindas truk pengangkut barang. Padahal
baru beberapa minggu Badar di kota, apakah kota begitu kejam. Mayat Badar pun
harus ia ambil di kota karena ia tak punya sanak keluarga disana. Kom harus
mengambilnya sendirian tanpa ditemani siapa-siapa. Ia sudah sebatang kara dalam
waktu sesingkat-singkatnya.
Mau
ke mana?
Kom
tahu ia harus ke kota B, mengambil mayat anaknya. Naik kereta api membuat ia
mengenang suaminya. Entah sudah berapa lama, Kom tak naik kendaraan ini. terakhir
kali ia naik ketika suaminya mengajak jalan-jalan ke danau dan kuburan sesepuh,
berdoa disana meminta punya anak. Sudah 5 tahun mereka bekeluarga tapi momongan
belum diberi oleh yang maha kuasa. Pada saat itu Kom dan suaminya kebelet ingin
jadi orang tua. Segala macam cara mereka pakai sampai pernah mendaftar bayi
tabung segala. Tapi momongan tak kunjung tiba. Sampai dua tahun kemudian setelah
kejadian itu barulah Badar baru muncul di dunia. Kenangan yang menggenang di
otak Kom sekarang terasa begitu benar istimewa, kenangan sebelum waktu
menghapusnya bagai rayap memakan kayu dan tanpa sadar sekarang anak
satu-satunya malah akan dijemputnya dalam keadaan tak bernyawa.
Lain
kali, apakah bisa?
Kereta
terus melaju, Kom tak bisa berhenti berpikir. Mengapa harus saat ini perpisahan
itu tiba, andai esok, lain kali atau ia yang lebih dulu mati. Ia tak akan
merasa seperih ini. andai rumahnya tak bocor, mungkin ia tak latah membuka
payung, melanggar pamali yang sudah turun temurun diwariskan keluarganya.
Membuka payung didalam rumah berarti keluarganya akan mendapat musibah, dan itu
benar. Esok setelah kejadian itu suaminya tiba-tiba sakit diare dan mati, dua
minggu kemudian Badar anak kesayangannya menyusul dan beberapa minggu kedepan
mungkin ia akan dijemput maut. Ia harus berpikir untuk apa hari-hari yang masih
tersisa sebelum nyawanya dicabut. Tobat?, apakah itu mungkin dan layak diterima
tuhan, ia sudah membunuh anggota keluarganya sendiri dan apa dosa yang lebih
berat daripada itu. Ia akan masuk neraka dan jelas-jelas ia sekarang merasa
takut mati, benar-benar takut. Hanya karena satu kesalahan ia tak lagi bisa
tidur nyenyak. Ia waswas dengan segala yang jelas tak terungkap. Tabir telah
tiba dan siap tidak siap ia harus menjalaninya.
Setelah
itu, apakah harus?
Kom
turun dari kereta, ia sudah tiba di kota. beberapa kali ia bertanya alamat
Rumah Sakit Papcakarta. kepada tukang koran, orang yang sedang membaca koran.
kepada penyemir sepatu, orang yang sepatunya sedang disemir. Kepada penjaga
toko, sampai orang yang sedang membeli makanan ringan di toko. Semuanya tidak
tahu Rumah Sakit Papcakarta. Ia terus berjalan, terus bertanya hingga tiba-tiba
langit menjadi kelabu dan hujan turun derasnya. Tetes demi tetes, rinai demi
rinai, rintik demi rintik, deras. Hujan turun dengan derasnya. Kom tidak
perduli, hari mulai merapal senja. Rumah sakit itu jelas harus ia temukan
sebelum malam menjadi gelap. Ditengah hempasan angin dan hujan, tiba tiba
lelaki kecil menghampiri Kom, membawa payung.
Apa
yang harus dilakukan?
Lelaki
kecil itu menawari Kom untuk ia antar, dengan payung. Alat yang sudah melukai
hati Kom, alat yang membunuh keluarganya. Kom bingung, linglung. Semuanya
terasa berputar, tanpa sebab Kom merasa dimanapun ia melangkah maut sedang
mengincarnya. Payung sedang memburunya. Melihat payung tiba-tiba Kom bertekad
bulat untuk tak takut, tak takut mati. Asal lelaki kecil ini tau alamat rumah
sakit dan bisa mengantarnya kesana. Kom siap mati, Kom harus meminta maaf
kepada anaknya. Minimal berbicara dengan mayatnya, dengan itu Kom baru bisa
merasa lega.
Kemudian,
disaat yang berat.
Lelaki
kecil ini tau alamat rumah sakit Papcakarta, sekitar 1 kilometer dari tempat
mereka berdua dan siap mengantarkan jika Kom mau. Kom senang alang kepalang.
Setidaknya ini mengobati sedikit sesak di hatinya. Berdua mereka berjalan lurus
ditengah hujan yang mengguyur. Hari makin sore tetapi langit memenjarakan
cerah. Gelap sudah merambat di kota B dikarenakan hujan. Tidak ada manusia yang
keluar dari bapak-bapak, ibu-ibu bahkan anak kecil yang suka berlarian ditengah
hujan tidak ada. Kecuali lelaki kecil disamping Kom yang terlihat bibirnya
sudah biru, matanya redup dan kakinya mulai lelah. Kom sadar bahwa lelaki kecil
pembawa payung itu sudah tak kuat mengantarnya. Masih setengah perjalanan lagi.
Masih...
Payung
itu tiba-tiba melayang.
Lelaki
kecil itu tanpa sadar melepaskan pegangan payung, payungnya terbang dan tubuh
kecilnya ambruk. Kom mengangkat lelaki kecil yang terlihat tersenyum letih
ketika dipeluknya. Kom menangis. Benar-benar menangis. Masih pantaskah ia
berterima kasih kepada payung. Andai payung itu ia yang pegang, payung itu tak
akan terbang jauh dan hilang. Lelaki kecil itu berkata tidak apa-apa asal Kom
bisa menggantinya setelah ia mengantarkan Kom sampai rumah sakit. Kom kembali
bingung, linglung. Ia sudah berjanji kepada dirinya sendiri untuk tak membeli
payung lagi. Payung sudah disegel haram di otaknya. Sedangkan gara-gara
kejadian ini ia harus kembali membeli payung. Berarti ia mau tak mau melanggar
pamali lagi yang sudah menjadi pedoman hidupnya. Ayahnya pernah berkata jika
seorang tak menepati janji yang ia katakan. Ia akan jadi babi di akhirat.
Betapa berat hukuman tuhan yang diberikan kepadanya. Sudah pasti masuk neraka
dan disana ia sudah divonis jadi babi. Apa tuhan sudah tak merestui ia untuk
masuk surga.
Beberapa
meter sebelum rumah sakit.
Hujan
mulai menggerimis. Meninggalkan jejak basah di tanah. Di pelataran depan rumah
sakit terlihat orang tua yang menjual payung. Beraneka macam payung mulai dari
payung kertas, payung berukuran besar hingga payung lipat. Kom ternganga, ia
harus membelikan payung untuk anak ini. ah biarlah ia ikhlas jadi babi asal ia
bisa bertemu dan minta maaf kepada anaknya Badar, minimal berbicara dengan
mayatnya. Setelah lelaki kecil itu memilih payung dan Kom memberi uang lebih
karena telah mengantarkan ia sampai kerumah sakit. Lelaki itu berterima kasih
dan berlari. Tinggallah Kom sendirian.
Akhir
dari kisah ini.
Kom
memeriksa jenazah anaknya yang ternyata bukan anaknya. Itu Asep, anak tetangga
dari tetangga tetangga sebelah rumahnya yang mengajak Badar bekerja di kota. Jadi
dimana Badar, apa Badar masih hidup ataukah Badar mati berbarengan dengan Asep.
Ini menjadi pertanyaan berat bagi Kom. Berkat informasi suster. Asep mati
dilindas truk dikarenakan jadi penjaja payung. Seperti lelaki kecil tadi yang
mengantarnya sampai kesini. Korban truk hanya Asep, tidak ada lagi. Kom
bertanya apakah jenazah ini punya teman yang menjenguknya. Suster menjawab.
Ada, para penjaja payung seperti mayat ini.
Mendengar
itu, Kom...
Kom
menunggu di ruang mayat. Berharap ia diberi keajaiban. Keajaiban payung yang
mengantarkan suaminya mati dan mencelakakan hidupnya. Ia terus menunggu, Tidak
lain dan tidak bukan ia menunggu penjaja payung lain yang melihat jenazah anak
tetangga dari tetangga tetangga sebelah rumahnya. Mungkin barangkali Badar datang
membawa payung, menerima ibunya yang meminta maaf sebelum di akhirat berubah jadi
babi...
Lubuklinggau Ekspress
Diko Hartan 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar